Sebentar lagi, warga etnis Tionghoa akan merayakan th. baru Imlek. Bagaimanakah sejarahnya hingga Imlek diputuskan sebagai sebagai hari raya serta libur nasional. Apa serta bagaimanakah? mari kita simak sejarahnya di bawah ini,,,
Di Indonesia, sepanjang th. 1968-1999, perayaan th. baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomer 14 Th. 1967, rezim Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segalanya yang berbau Tionghoa, salah satunya Imlek.
Orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia kembali memperoleh kebebasan merayakan th. baru Imlek pada th. 2000 saat Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomer 14/1967. Lalu Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan keluarkan Ketentuan Presiden Nomer 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang resmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (cuma berlaku untuk mereka yang merayakannya). Baru pada th. 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai satu diantara hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai th. 2003.
Pada th. 1946, saat Republik Indonesia baru berdiri, Presiden Soekarno keluarkan Penetapan Pemerintah mengenai hari-hari raya umat beragama No. 2/OEM-1946 yang pada pasal 4 nya diputuskan 4 hari raya orang Tionghoa yakni Th. Baru Imlek, hari meninggal dunianya Khonghucu (tanggal 18 bln. 2 Imlek), Ceng Beng serta hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bln. 2 Imlek). Dengan hal tersebut dengan cara tegas bisa dinyatakan kalau Hari Raya Th. Baru Imlek Kongzili adalah hari raya Agama Tionghoa.
Orang Tionghoa yang pertama kalinya mengusulkan larangan keseluruhan untuk merayakan Imlek, kebiasaan istiadat, serta budaya Tionghoa di Indonesia pada Presiden Soeharto seputar th. 1966-1967 yaitu Kristoforus Sindhunata dengan kata lain Ong Tjong Hay. Tetapi, Presiden Soeharto terasa usulan itu terlalu berlebih, serta tetaplah mengijinkan perayaan Imlek, kebiasaan istiadat, serta budaya tionghoa tetapi diselengarakan cuma dirumah keluarga tionghoa serta ditempat yang tertutup, perihal ini pula yang memicu diterbikannya Inpres No. 14/1967.
Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto keluarkan Instruksi Presiden No. 14/1967 mengenai pembatasan Agama, Keyakinan serta Kebiasaan Istiadat Cina. Dalam instruksi itu diputuskan kalau semua Upacara Agama, Keyakinan serta Kebiasaan Istiadat Tionghoa cuma bisa dirayakan di lingkungan keluarga serta dalam ruang tertutup. Instruksi Presiden ini mempunyai tujuan mengeliminasi dengan cara systematis serta bertahap atas jati diri diri beberapa orang Tionghoa pada Kebudayaan Tionghoa termasuk juga Keyakinan, Agama serta Kebiasaan Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres itu, semua Perayaan Kebiasaan serta Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk juga Th. Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dsb dilarang dirayakan dengan cara terbuka. Demikian pula tarian Barongsai serta Liong dilarang ditampilkan.
LPKB menyarankan keturunan Tionghoa, diantaranya, supaya :
– Ingin melupakan serta tak memakai lagi nama Tionghoa.
– Menikah dengan orang Indonesia pribumi asli.
– Menanggalkan serta menyingkirkan agama, keyakinan serta kebiasaan istiadat Tionghoa, termasuk juga bhs ataupun semuanya rutinitas serta kebudayaan Tionghoa dalam kehidupan keseharian, termasuk juga larangan untuk perayaan th. baru imlek.
Tubuh Koordinasi Permasalahan Cina (BKMC). BKMC ada dibawah BAKIN yang menerbitkan tidak kurang dari 3 jilid buku semasing setebal 500 halaman, yakni “Pedoman Penyelesaian Permasalahan Cina” jilid 1 hingga 3. Dalam soal ini, pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas berasumsi keturunan Cina serta rutinitas dan kebudayaan Cina, termasuk juga agama, keyakinan serta kebiasaan istiadat Tionghoa sebagai “masalah” yang merongrong negara serta mesti dikerjakan dengan cara selesai.
Lalu dengan diterbitkannya SE Mendagri No. 477/74054 th. 1978 tertanggal 18 Nopember 1978 mengenai pembatasan aktivitas Agama, Keyakinan serta Kebiasaan Istiadat Cina, yang diisi diantaranya, kalau pemerintah menampik untuk mencatat perkawinan untuk yang Beragama Khonghucu serta penolakan pencantuman Khonghucu dalam kolom Agama di KTP, yang didukung karenanya ada keadaan mulai sejak th. 1965-an atas penutupan serta larangan beroperasinya sekolah-sekolah Tionghoa, hal semacam ini mengakibatkan berlangsung eksodus serta migrasi jati diri diri beberapa besar beberapa orang Tionghoa kedalam Agama Kristen sekte Protestan, serta sekte Katolik, Buddha bahkan juga ke Islam. Demikian pula semua perayaan ritual kepercayaaan, agama serta kebiasaan istiadat Tionghoa termasuk juga perayaan Th. Baru baru Imlek jadi surut serta sirna.
Surat dari Dirjen Bimas Hindu serta Buddha Depag No H/BA. 00/29/1/1993 menyebutkan larangan merayakan Imlek di Vihara serta Cetya. Lalu Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) keluarkan Surat Edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, tertanggal 11 Januari 1993 yang menyebutkan kalau Imlek tidaklah adalah hari raya agama Buddha, hingga Vihara Mahayana tak bisa merayakan th. baru Imlek dengan menggotong Toapekong, serta acara Barongsai.
Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid keluarkan Keppres No. 6/2000 mengenai pencabutan Inpres N0. 14/1967 mengenai pembatasan Agama, Keyakinan serta Kebiasaan Istiadat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres itu, orang-orang Tionghoa diberikan kebebasan untuk berpedoman agama, keyakinan, serta kebiasaan istiadatnya termasuk juga merayakan Upacara-upacara Agama seperti Imlek, Cap Go Meh dsb dengan cara terbuka.
Pada Imlek 2551 Kongzili di th. 2000 Masehi, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) mengambil gagasan untuk merayakan Imlek dengan cara terbuka sebagai puncak Ritual Agama Khonghucu dengan cara Nasional dengan mengundang Presiden Abdurrahman Wahid untuk datang menghadirinya.
Pada tanggal 19 Januari 2001, Menteri Agama RI keluarkan Ketentuan No. 13/2001 mengenai penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Ketika menghadiri perayaan Imlek 2553 Kongzili, yang diadakan Matakin dibulan Februari 2002 Masehi, Presiden Megawati Soekarnoputri menginformasikan mulai 2003, Imlek jadi Hari Libur Nasional. Pengumuman ini ditindak lanjuti dengan dikeluarnya Ketentuan Presiden Republik Indonesia Nomer 19 th. 2002 mengenai Hari Th. Baru Imlek tertanggal 9 April.
Praktek perayaan th. baru Imlek di Indonesia
Th. baru Imlek umumnya berjalan hingga 15 hari. Pada hari raya Imlek, untuk etnis Tionghoa yaitu satu kewajiban untuk melakukan pemujaan pada leluhur, seperti, dalam upacara kematian, pelihara meja abu atau lingwei (lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur pada hari Ceng Beng (hari spesial untuk berziarah serta bersihkan kuburan leluhur). Oleh karenanya, pada Hari Raya Imlek anggota keluarga bakal berkunjung ke tempat tinggal anggota keluarga yang pelihara lingwei (meja abu) leluhur untuk bersembahyang. Atau berkunjung ke tempat tinggal abu tempat untuk menitipkan lingwei leluhur untuk bersembahyang.
Saat malam tanggal 8 mendekati tanggal 9 ketika Cu Si (jam 23 : 00-01 : 00) Umat lakukan sembahyang lagi. Sembahyang ini dimaksud Sembahyang “King Thi Kong” (Sembahyang Tuhan Yang Maha Esa) serta dikerjakan di depan pintu tempat tinggal menghadap langit terlepas dengan memakai altar yang terbuat dari meja tinggi tersebut sesaji, berbentuk Sam-Poo (teh, bunga, air jernih), Tee-Liau (teh serta manisan 3 jenis), Mi Swa, Ngo Koo (lima jenis buah), sepasang Tebu, serta tak lupa sebagian peralatan seperti Hio-Lo (tempat dupa), Swan-Loo (tempat dupa ratus/bubuk), Bun-Loo (tempat menyempurnakan surat doa) serta Lilin Besar.
Sumber:
http://www.alliedarmament.com/toko-bunga-ucapan-hari-raya-imlek/